Cari Blog Ini

Sabtu, 23 April 2011

DAKWAH AWAL NABI MUHAMMAD SAW. ADALAH KEPADA KERABAT/KELUARGA TERDEKATNYA

(oleh Ja’far Subhani)

Reformasi Islam bertumpu pada reformasi ke dalam. Sebelum seseorang mampu mengendalikan anak-anaknya dan familinya dari kejahatan, kegiatan dakwahnya tak mungkin efektif, karena lawan-lawannya akan menudingnya dengan menunjuk perilaku keluarganya sendiri.

Dengan alasan-alasan tersebut, Allah SWT memerintahkan Nabi untuk mengajak familinya, 

"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, "1) 

sementara menyangkut dakwah umum, Dia berfirman,

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala yang diperintahkan [kepadamu] dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik,. "2)

Cara Mengajak Kerabat

Cara Nabi mengajak kerabatnya sangatlah menarik. Rahasia cara dakwah ini menjadi lebih jelas belakangan, ketika realitasnya ter¬ungkap. Ketika mengomentari ayat "berilah peringatan kepada kerabat-¬kerabatmu yang terdekat", hampir seluruh mufasir dan sejarawan me¬nulis bahwa Allah Yang Mahakuasa memerintahkan Nabi mengajak kerabat terdekatnya untuk memeluk agamanya. Dengan hati-hati, beliau memerintahkan 'Ali bin Abi Thalib, yang usianya tak lebih dari lima belas tahun, untuk menyediakan makanan dan susu. Kemu¬dian beliau mengundang 45 orang sesepuh Bani Hasyim dan me¬mutuskan untuk membuka rahasianya pada perhelatan itu.

Sayangnya, seusai makan, salah seorang pamannya (Abu Lahab) menyatakan hal-hal keji dan tak-berdasar dan menyebabkan suasana jadi tidak menyenangkan bagi penyajian masalah misi kenabian. Karena itu, Nabi menganggap lebih baik menangguhkan perkara itu sampai hari berikut.
Besoknya, sekali lagi, beliau mengadakan perjamuan. Selesai makan, beliau berpaling kepada para sesepuh keluarganya dan memulai pembicaraan dengan memuji Allah dan memaklumkan keesaan-Nya. Lalu beliau berkata,

"Sesungguhnya, pemandu suatu kaum tak per¬nah berdusta pada kaumnya. Saya bersumpah demi Allah yang tak ada sekutu bagi-Nya bahwa saya diutus oleh Dia sebagai Rasul-Nya, khususnya kepada Anda sekalian dan umumnya kepada seluruh penghuni dunia. Wahai kerabat saya! Anda sekalian akan mati. Se¬telah itu, seperti Anda tidur, Anda akan dihidupkan kembali dan akan menerima pahala menurut amal Anda. Imbalannya adalah surga Allah yang abadi (bagi orang yang lurus) dan neraka-Nya yang kekal (bagi mereka yang berbuat jahat)." Lalu beliau menambahkan, “Tak ada manusia yang pernah membawa kebaikan untuk kaumnya ketimbang apa yang saya bawakan untuk Anda. Saya membawakan pada Anda rahmat dunia maupun akhirat. Tuhan saya memerintah¬kan kepada saya untuk mengajak Anda kepada-Nya. Siapakah di antara Anda sekalian yang akan menjadi pendukung saya sehingga ia akan menjadi saudara, Washi (penerima wasiat), dan Khalifah (peng¬ganti) saya?"

Ketika pidato Nabi mencapai poin ini, kebisuan total melanda pertemuan itu. Sekonyong-konyong, 'Ali, remaja berusia lima belas tahun, memecahkan kebisuan itu. Ia bangkit seraya berkata dengan mantap, 

"Wahai Nabi Allah, saya siap mendukung Anda." 

Nabi menyuruh ia duduk. Nabi mengulang tiga kali ucapan permintannya kepada semua yang hadir, tapi tak ada yang menyambut kecuali 'Ali yang terus melontarkan jawaban yang sama. Beliau lalu berpaling kepada kerabatnya seraya berkata, 

"Pemuda ini adalah Saudara, Washi, dan Khalifah saya di antara kalian. Dengarlah kata-katanya dan ikuti dia."

Sampai di sini, pertemuan berakhir. Orang-orang berpaling ke¬pada Abu Thalib dengan senyum sinis sembari berkata, 

"Muhammad telah menyuruh Anda untuk mengikuti putra Anda dan menerima perintah darinya serta mengakuinya sebagai sesepuh Anda." 3)

Yang ditulis di atas adalah inti dari versi mendetail yang dikutip kebanyakan mufasir dan sejarawan dalam berbagai ungkapan. Ke¬cuali Ibn Taimiyah, yang mempunyai pandangan khusus terhadap anggota keluarga Nabi, tak seorang pun meragukan keabsahan ri¬wayat ini, dan semua menganggapnya sebagai fakta sejarah.

Kejahatan dan Pelanggaran Amanat

Pengubahan dan penyajian fakta yang keliru serta penyembunyi¬an kenyataan yang sesungguhnya merupakan kejahatan yang jelas dan pelanggaran amanat. Sepanjang perjalanan sejarah Islam ada kelompok penulis yang menempuh jalan ini dan mengurangi nilai tulisan mereka lantaran penyajian yang keliru. Jalan sejarah dan perkembangan pengetahuan, bagaimanapun, telah mengungkapkan hal ini.
lnilah contoh penyajian yang keliru tersebut:

1. Sebagaimana diketahui, Muhammad bin Jarir ath-Thabari (meninggal 310 H) te1ah mengisahkan peristiwa ajakan Nabi kepada kerabat dekatnya tersebut dalam buku sejarahnya (Tarikh ath¬Thabari). Namun, dalam kitab Tafsir-nya, 4) ketika mengomentari ayat "dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat ", Thabari menyebutkan apa yang ia tulis dalam buku sejarahnya bersama dengan teks dan sumbernya, tapi ketika sarnpai pada kalimat "Ali adalah saudara, Washi, dan penerus saya", ia meng-ubah kalimat itu menjadi, "'Ali adalah saudara saya, dan lain-¬lain." 

Tak syak bahwa menghapus kata-kata "washi dan khalifahku" dan menggantikannya dengan kalimat "dan lain-lain" tak mungkin lain dari pelanggaran amanat.
Sejarawan mestinya bebas dan tanpa prasangka dalam mere¬kam fakta, dan harus menulis apa yang dinilainya benar dengan keberanian dan keterusterangan yang tak tertandingi. Jelaslah, hal yang mendorong Thabari menghapus kalimat ini, dan meng¬gantinya dengan kata-kata yang mengelabui, adalah asumsi keagamaannya. 

Ia tidak menganggap 'Ali sebagai washi dan peng¬ganti langsung Nabi. Karena kalimat ini jelas menunjukkan 'Ali sebagai washi dan khalifah langsung, ia menganggap perlu mem¬bela sikap religiusnya ketika mengomentari sebab-sebab turunnya ayat tersebut.

2. Ibn Katsir Syami (meninggal 732 H) juga menempuh jalan yang sama dalam buku sejarahnya 5) sebagaimana yang ditempuh Tha¬bari sebelumnya dalam Tafsir-nya. Kita tak dapat memaklumi Ibn Katsir, karena Tarikh ath-Thabari-lah yang menjadi dasar kitab sejarahnya, dan ia sendiri jelas-jelas merujuk ke Tarikh ath-Thabari dalam menyusun bagian ini dalam kitabnya. Tetapi, kendatipun demikian, ia tidak mengutip masalah ini dari Tarikh melainkan dari Tafsir ath- Thabari.

3. Kemudian kita sampai pada kejahatan yang dilakukan oleh Dr. Haikal, penulis buku Hayat Muhammad, yang telah membuka jalan bagi generasi baru untuk melakukan perusakan fakta. Aneh¬nya, kendati dalam prakata bukunya ia mengecam kaum orien¬talis dan menuduh mereka merusak dan memalsu fakta, ia sen¬diri melakukan hal yang sama, bahkan selangkah lebih maju, karena:

Pertama, dalam edisi pertama buku tersebut, ia mengutip peris¬tiwa ini, dengan cara merusak dan, dari dua kalimat yang ada, ia hanya mencatat satu (yakni, Nabi berpaling kepada para sesepuh itu seraya berkata, "Siapa di an tara kalian yang akan menjadi pendukung saya dalam tugas ini sehingga ia dapat menjadi sau¬dara, washi, dan pengganti saya") dan menghapus sama sekali kalimat lainnya menyangkut 'Ali setelah 'Ali menyatakan dukung¬annya. Ia sama sekali tidak menyebutkan bahwa Nabi berkata tentang 'Ali, "Pemuda ini adalah Saudara, Washi, dan Khalifah saya." 

Kedua, dalam edisi kedua dan ketiga, ia maju selangkah dengan menghapus kedua kalimat itu dari dua tempat berbeda. Dengan begitu, ia melakukan serangan telak kepada kedudukannya sen¬diri dan bukunya."

Kenabian dan Imamah

Pemakluman khilafah (imamah) 'Ali di hari-hari awal kenabian Muhammad SAW memperlihatkan bahwa dua kedudukan ini berkaitan satu sama lain. Ketika Rasulullah diperkenalkan kepada masyarakat, khalifahnya juga ditunjuk dan diperkenalkan pada hari itu juga. Ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa Kenabian dan Imamah merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Peristiwa di atas jelas membuktikan heroisme spiritual dan keberanian 'Ali. Karena, dalam pertemuan di mana orang-orang tua dan berpengalaman, tenggelam dalam keraguan dan keheranan, ia menyatakan dukungan dan pengabdiannya dengan keberanian sem¬purna dan mengungkapkan permusuhannya terhadap musuh Nabi tanpa menempuh jalan politisi yang mengangkat diri sendiri. Ken¬dati waktu itu ia yang termuda di antara yang hadir, pergaulannya yang lama dengan Nabi telah menyiapkan pikirannya untuk me¬nerima kenyataan, sementara para sesepuh bangsa ragu-ragu untuk menerimanya.

Catatan Kaki :

1) Surah asy-Syu’ara’, 26:213
2) Surah al-Hajr, 15:94
3) Tarikh ath-Thabari, II, h. 62-63; Tarikh al-Kamil, II, h. 40-41; Musnad Ahmad, I, h. 111; Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, XIII, h. 210-221.
4) Tafsir ath-Thabari, XIX, h. 74
5) Al-Bidayah wa an-Nihayah, III, h. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar